Kamis, 05 September 2013

2. Curhat untuk sahabat

Gaun hitammu menyambar kaki meja, lalu menyapu ujung kakiku. Kamu sengaja berdandan. Membuatku agak malu karena muncul berbalut jaket jins, celana khaki. Dan badan sedikit demam.

“ Kamu tidak tahu betapa pentingnya malam ini” katamu, tertawa, tersipu, seakan minta dimaklumi. Pastinya kamu yang merasa tampil berlebihan, karena kamu tadi di telpon, kita hanya akan makan malam sambil mendengarkan curhat.

Sebotol muscat yang terbalur dalam kepingan es diantarkan ke meja. Dudukku langsung tegak, jangan – jangan malam ini memang betulan penting.
Anggur itu berusia enam tahun. Gaun itu Cuma keluar sekali dalam dua tahun. Restoran ini terkhir kamu pilih saat ulang tahun hari jadi jatuh cintamu ke -1, empat tahun lalu.

“ ada yang perlu dirayakan? Selain kamu baru sembuh sakit dan aku tidak enak badan?” tanyaku

“malam ini aku lahir baru”

“kamu…, bertobat?”

“bisa jadi itu istilahnya.” tawamu menggelak – gelak lepas, lalu kamu mengatur napas. ”aku ……. Selesai”
Mataku menyipit menunggu penjelasan

“selesai! Semua sudah selesai. Lima tahun sudah cukup. Aku berhenti menunggu. Berhenti berharap. Cheers!” Kamu dentingkan gelasmu ke gelasku

Bulu kudukkku  meremang tersapu bahwa demam yang  tiba – tiba melonjak sesaat diadalam tubuh. Atau pendingin ruangan yang terlampau sejuk. Piano mengalun terlalu indah di kuping. Kamu terlalu cantik saat menyerukan ikrara kebebasanmu. Aku merinding lagi dan selapis keringat dingin menyembul di tepi kening.

“Kenapa?” tanyaku, dan kamu pasti sudah siap untuk itu. Untuk sepotong kata tanya itulah kamu berdandan, mengenakan baju terbaikmu, dan memilih tempat ini.

Tolong jangan tersinggung jika kubilang aku tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Pertama, akan ada jeda kosong sekurang – sekurangnya tiga menit, dimana aku akan melipat tangan di dada sambil memandagimu sabar, dan kamu akan memandang kosong ke satu titik, seolah di titik itulah halte tempat berbagai kenangan tentangnya berkumpul dan siap diangkut ke seluruh tubuhmu. Mulutmu lalu berkata – kata tentangnya, matamu di penuhi olehnya, dan tak lama lagi kamu akan terlapisi saput yang tak bisa kutembus. Hanya kamu sendirian disitu. Dan kamu tak pernah tahu itu.

Ceritamu kerap berganti selama lima tahun terakhir. Semenjak kamu resmi tergila – gila padanya. Kadang kamu bahagia, kadang kamu biasa – biasa, kadang kamu nelangsa. Namun saput itu selalu ada. Kadang membuatku ingin gila.

“Aku menyadari sesuatu waktu aku sakit kemarin.” Kamu mulai bertutur setelah Sembilan puluh detik menatap piano. “Satu malam aku sempat terlalu lemas untuk bangun, padahal aku cuma ingin ambil minum. Tidak ada siapa – siapa yang bisa kumintai tolong…”

Jaketku harus kurapatkan. Sensai meriang itu datng lagi.

“Malam itu rasanya aku sampai ke titik terendah. Aku capek. Dan kamu tahu? Aku tidak butuh dia. Yang kubutuhkan adalah orang yang menyayangi aku.. dan segelas air putih.”

Kepalamu menunduk, matamu terkatup, kamu sedang menahan tangis. Malam panjang kita resmi dimulai.

“Tapi..aku janji… tangisan ini buat yang terakhir kali..” katamu tersendat, antara tawa dan isak. Berusaha tampil tegar.

Dan inilah saatnya aku menepuk halus punggung tanganmu. Dua – tiga kali tepuk. Dan tibalah saatnya kamu terseguk – seguk. Tak terhitung banyaknya. Lalu bedak dan lipstikmu meluntur tergosok tisu.

“Orang…yang begitu tahu aku sakit..mau jam berapapun..langsung datang..” Susah payah kamu bicara.

Aku ingat malam itu. Hujan menggelontor sampai dahan – dahan pohon tua di jalanan rumahku rontok seperti daun kering. Teleponku berdering pukul setengah dua belas malam. Aki mobilku kering, jadi kupinjam motor adikku. Sayangnya adikku tak punya jas hujan. Dan aku terlalu terburu – buru untuk ingat bawa baju ganti .Ada seseorang yang membutuhkanku. Ia minta dibelikan obat flu karena stok dirumahnya habis. Ia lalu minta dibawakan segelas air, yang hangat. Aku menungguinya sampai ia ketiduran. Dan wajahnya saat memejamkan mata, saat semua kebutuhannya terpenuhi, begitu damai. Membuatku lupa bahwa berbaju basah pada tengah malam bisa mengundang penyakit. Saat itu ada yang lebih penting bagiku daripada mengkhawatirkan virus influenza. Aku ingin membisikkan selam tidur, jangna bermimpi. Mimpi mengurangi kualitas istirahatnya. Dan untuk bersamaku, ia tak perlu mimpi.

Napasmu mulai terdengar teratur. Air mata masih mengalir satu – satu, tapi bahumu tak lagi naik turun. Kamu menatapku lugu, “Keinginan itu…tidak ketinggian, kan?”

Lama baru aku bisa menggeleng. Tak ada yang muluk dari obat flu dan air putih. Tapi kamu mempertanyakannya seperti putri  minta dibuatkan seribu candi dalam semalam.

“Jadi, sekarang kamu mau bagaimana?” Demikian ciri khas malam curhat kita. Kamu tidak butuh intruksi. 

Aku hanya bertindak seumpama cermin yang memantulkan segala yang kamu inginkan. Kamu sudah tahu harus berbuat apa, sebagaimana kamu selalu tahu perasaanmu, kepedihanmu dan langkahmu berikutnya. Kamu hanya butuh kalimat Tanya.

“Aku akan diam,” jawabmu dengan nada mantap yang membuat sengguk dan isak barusan seolah tak pernah terjadi.

“Diam?”

“Ya. Diam! Diam di tempat. Tidak ada lagi usaha macam – macam, mimpi muluk – muluk. Karena aku yakin di luar sana, pasti ada orang yang mau tulus sayang sama aku, yang mau menemani aku pada saat susah, pada saat aku sakit..”

Kamu selalu tahu kebutuhanmu dari waktu ke waktu. Yang tidak kamu tahu adalah kamu sendirian dalam saput itu.

Gelas – gelas kita kembali diisi. Lagi, kamu mengajakku mengadu keduanya, dan kali ini dengan semringah kamu berkata. “Demi penantian yang baru! Yang tidak muluk – muluk! Cheers!”

Sesuatu dalam ruangan ini terlau menyakitkan bagiku. Entah semburan angin dari mesin pendingin atau suara piano yang mengiris – iris kuping. Entah anggur ini terlalu tua bagi lidahku atau cinta ini terlalu tua bagi hatiku. Kurapatkan jaketku hingga tak bias ditarik kemana – mana lagi.

“Kamu sakit?” Kudengar kamu bertanya dengan nada cemas. Kulihat kedua alismu spontan bertemu, menunjukkna rasa heran yang sungguhan.

“Ya.”



“Gara – gara kehujanan waktu kerumahku itu, ya?”


ini adalah salah satu cerpen rectoverso yang ceritanya cukup sederhana. Katanya sih ini cerita yang paling disukai ama pembacanya gitu :p. Entah kenapa ceritanya bikin merinding..,
Kadang sahabat bisa kayak tempat sampah yang bakalan nampung semua cerita sedih lo, gembira lo, nelangsa lo bahkan di saat lo lagi biasa - biasa aja.
aduh.., tapi jangan kayak tempat sampah deh sedih aja gitu -_- apalagi kalo cuma jadi cermin saat dengerin dia cerita.
gue ngebahas kata "sahabat" di cerita ini loh ya, ya kira" sih begitu.
you know lah persahabatan apa yang di cerpen ini. persahabatan yang kadang bisa bikin serba salah. 

RECTOVERSO


Tidak ada komentar:

Posting Komentar